Jumat, 25 Maret 2011

Nasionalisme Karbit (puisi)


Priiiittt,
sang pengadil lapangan meniupkan peluit,
si kulit bundar bergulir tanpa berbelit,
kaki-kaki berebut bola tanpa hiraukan sakit,
stadion bergelora, semangat bangkit,
Ya, ini pertandingan sengit,
prestasi dan prestise lebih penting dari sekedar duit,
tak peduli masa lalu diungkit-ungkit,
rekor pertemuan tak lagi wingit,
yang kalah pasti akan sakit,
yang menang bakal terbang ke langit,
Semua berbaur, tak pandang warna kulit,
peluang terbuang, dan suporter menggigit,
beberapa orang diam, yang lainnya komat-kamit,
sedikit di antaranya menyulut garpit,
bersama petasan bikin udara jadi sangit,
Mereka datang dengan atas dasar Nasionalisme? Bullshit!
itu fanatisme, dan segelintir alasan silit,
yang datang dengan berdandan genit,
yang masuk tanpa tiket, menerobos bak tikus berit,
masih pakai alasan sedang pailit,
atau yang masuk bawa celurit, kadang sabit,
yang bayaran dan bawa spanduk ‘Kami mendukung Nurdin Halid’,
Beta bilang Nasionalisme mereka sempit,
tapi semangat mereka besar bak bukit,
bangsa yang besar ini sedang terbelit,
dituduh ini itu Pemerintahnya sibuk berkelit,
rakyatnya miskin, prestasi miskin, keburukannya selangit,
bahkan untuk merasakan kebanggan ini hanya 90 menit,
dan berakhir kala wasit meniup peluit,
Akhirnya catatan ini sekedar kredit,
buat para negarawan yang katanya bekerja demi rakyat, meski realitanya morat-marit,
mulutnya ndower perutnya membuncit,
ngobralnya banyak tapi kerjanya sejimpit,
bolehlah kita belajar tentang meteorit, leukosit, sampai elektrolit,
tapi jangan lupa ‘tuk mengawasi kinerja para elite,
karena sepakbola tak ubahnya politik strategi, dan mudah menjangkit,
kawan-kawanku, saudara-saudaraku, ayolah bangkit!
Negara ini sangat butuh perhatianmu, priiiittt.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

blogwalking.. Selamat datang di blog saya.